Materi Psikologi:Teori-Teori Dalam Psikologi Sosial


Teori-Teori Dalam Psikologi Sosial

1. Teori Genetik
Teori ini menekankan kualitas pembawaan semenjak lahir atas tingkah laku sosial. Bahwa "manusia ialah binatang sosial" menjadi inti dan teori genetik dan sekaligus menjadi dasar asumsinya, bahwa komponen-komponen dari tingkah laku sosial dihubungkan dengan atau memiliki akar pada penyebab genetik yang tidak dipelajari. Misalnya Konrad Lorenz (dalam Dayakisni, 2006:14), seorang berpengalaman etiologi, yang mempelajari fenomena sosial pada binatang. Lorenz berasumsi bahwa tingkah laku agresi ialah perwujudan dan insting agresi yang dibawa semenjak lahir dan berasal dan keperluan untuk mengayomi diri. Ahli yang lainnya William Mc Douglas (dalam Dayakisni, 2006:14) pun mendasarkan pada konsep-konsep genetik pada tingkah laku sosial. Douglas berasumsi bahwa tidak sedikit sifat dan tingkah laku spesifik dapat diterangkan dalam istilah insting, tingkah laku yang mempunyai tujuan langsung yang tidak dipelajari. Douglas menyebutkan seperangkat insting yang diduga medasari sebanyak tingkah laku. Misalnya bilamana seorang ibu mengayomi anaknya maka urusan tersebut disebut tingkah laku "parental insting" (insting orang tua) sedangkan andai dikenakan untuk orang yang berhungan dengan orang-orang lainnya maka urusan tersebut dirasakan karena adanya "insting guna berkumpul". Namun sebagian berpengalaman psikologi sosial menampik pendapat bahwa resting adalahmekanisme keterangan tingkah laku manusia sebab tasting diangap tidak bisa menjelaskan dalil dibalik tingkah laku dan tidak dapat menyerahkan prediksi yang akurat atas tingkah laku pribadi di masa yang bakal datang. Jadi dapat diputuskan bahwa dalam teori genetik melalaikan peranan hal situasional dan lingkungan dalam mendalami tingkah laku sosial. Oleh karenanya teori ini tidak cukup populer untuk digunakan dalam mengkaji fenomena-fenomena psikologi sosial.

2. Teori Stimulus — Respons
Prinsip teori ini mengaku bahwa:
"Kalau stimulus memberikan dampak yang positif atau memberi reward maka respons terhadap stimulus itu akan diulangi pada peluang lain dimana stimulus yang sama timbul. Sebaliknya bilamana respons memberikan dampak yang negatif (hukuman dan sebagainya) hubungan antara stimulus - respons itu akan dihindari pada peluang lain".
Beberapa istilah yang perlu diterangkan dalam teori ini ialah stimulus, respons, dorongan, reinforcementlfaktor penguat. Stimulus ialah peristiwa yang terjadi baik di luar maupun di dalam tubuh insan yang mengakibatkan timbulnya suatu evolusi tingkah laku. Respons ialah perubahan yang diakibatkan oleh adanya stimulus.

Berdasarkan keterangan dari Keller & Schoenfeld (Wibowo,1988:127) stimulus memiliki 3 (tiga) faedah yaitu:
  1. Pembangkitan: stimulus yang membangkitkan, ialah stimulus yang langsung menyerahkan suatu respons. Misalnya makanan langsung memunculkan air liur orang yang melihatnya pada ketika lapar terutama.
  2. Diskriminasi: stimulus yang diskriminatif, ialah stimulus yang tidak langsung memunculkan respons tetapi melulu adalahpertanda adanya stimulus pembangkit. Misalnya mendengar terdapat tukang siomay lewat. Saat barn mendengar belum terdapat reaksi apapun dan diri orang tersebut, barulah setelah menyaksikan sang penjaja menyajikan sepiring di depannya keluarlah air liurnya.
  3. Reinforcement: ialah stimulus yang memunculkan konsekuensi yang positif atau negatif pada terbentuknya respons. Reinforcement positif ialah stimulus yang bila diserahkan akan memperkuat tingkah laku respons. Misalnya seorang anak yang membantu orang lain lantas mendapat pujian dan hadiah, maka ia akan ingin mengulangi tingkah laku menolongnya di lantas hari. Reinforcement negatif ialah stimulus yang andai tidak diserahkan atau dihentikan pem-beriannya, bakal memperkuat terjadinya respons. Misalnya seorang anak yang kegemukan dan gelalu dicibir oleh temannya, tidak lagi dicibir oleh temannya manakala dia berprestasi di kelas/menjadi juara kelas. Maka ia bakal mengulangi dan menambah prestasi akademiknya tersebut.

Dorongan ialah suatu kekuatan dalam din seseorang yang andai telah menjangkau kekuatan yang maksimum akan mengakibatkan orang tersebut mengerjakan sesuatu. Berdasarkan keterangan dari Dollard & Miller (dalam Wibowo, 1988:1.27) ada 2 (dua) macam desakan pada insan yaitu desakan primer dan desakan sekunder. Dorongan primer ialah dorongan bawaan laksana lapar, haus, sakit dan seks. Dorongan sekunder ialah dorongan yang mempunyai sifat sosial dan dipelajari misalnya desakan untuk mendapat upah, pujian, perhatian dan sebagainya.

3. Teori Kognitif
Pokok benak dalam pendekatan kognitif ialah bahwa perilaku pribadi tergantung pada metodenya mengamati kondisi sosial. Secara spontan dan otomatis orang bakal mengorganisasikan persepsi, benak dan keyakinannya tentang kondisi sosial ke dalam format yang simpel dan bermakna., laksana yang mereka kerjakan terhadap objek. Bagaimanapun rancunya kondisi orang akan menyelenggarakan pengaturan dan pengorganisasian ini (persepsi dan penafsiran lingkungan) akan memprovokasi perilaku pribadi dalam kondisi sosial.

Terdapat sejumlah prinsip dasar dalam teori ini yakni (Sears., 1985:17-18):
  • Individu ingin mengelompokkan dan mengkategorikan objek secara spontan. Individu tidak menyaksikan objek secara tersendiri tetapi sebagai unsur dari sekelompok benda atau hal-hal beda di sekitarnya. Oleh karenanya individu ingin mengelompokkan objek ini dengan sejumlah prinsip simpel misalnya sebab kesamaan, kedekatan atau empiris masa lalu.
  • Individu dapat menyimak objek dengan meneliti sesuatu sesuatu sebagai urusan yang menyolok (figure) dan yang beda sebagai latar belakang (ground). Biasanya rangsangan yang bergerak, berwama, bersuara, unik, dekat, adalahfigure. Sedangkan rangsangan yang lembut, tidak menarik, tidak bergerak, tidak bersuara, umum, jauh, adalahground.

Teori kognitif memiliki tekanan yang bertolak belakang dengan teori belajar yaitu:
  • Teori kognitif memfokuskan din pada interpretasi dan organisasi perseptual mengenai suasana seseorang, bukan suasana masa lalu.
  • Teori kognitif menggali sebab-sebab perilaku pada persepsi atau interpretasi pribadi terhadap kondisi dan tidak pada realita situasinya. Interpretasi pribadi terhadap kondisi adalahhal yang lebih urgen daripada bagaimana sebetulnya situasi itu.

4. Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory)
Pokok pemikiran dalam pendekatan belajar ialah bahwa perilaku pribadi ditentukan oleh apa yang sudah dipelajari sebelumnya. Dalam kondisi tertentu seseorang mempelajari perilaku tertentu sebagai kelaziman dan bila menghadapi situasi tersebut kembali oarang itu akan ingin untuk berperilaku cocok dengan kebiasaannya itu. Pendekatan dengan belajar populer di tahun 1920-an dan adalah dasar Behaviorisme.

Dalam kehidupan insan ada 2 (dua) definisi belajar yakni belajar secara jasmani misalnya belajar menari, naik sepeda dan lain-lain, dan belajar psikis yakni mempelajari perannya dan peran orang beda dalam konteks sosial. Berdasarkan keterangan dari Dollard & Miller terdapat 4 (empat) prinsip dalam belajar yakni dorongan, isyarat, respons dan reward. Pengertian desakan dan respons sudah diterangkan sebelumnya. Reward sebetulnya sama dengan reinforcement yakni stimulus yang memutuskan perlu diulangi atau tidak sebuah respons pada peluang lain. Isyarat ialah stimulus yang menilai kapan dan dimana sebuah respOns bakal timbul dan respons apa yang bakal timbul. Isyarat dapat disamakan dengan stimulus diskriminatif. Mekanisme belajar dapat dipecah dalam tiga mekanisme umum (Sears, dkk., 1985:13-14) yaitu:
  1. Asosiasi (Classical Conditioning) yakni kita belajar berperilaku dengan mengasosiasikan kata-kata, suara-suara, warna-warna dan sebagainya atau gejala yang terjadi disekitar kita. Misalnya mengasosiasikan kata "Tsunami" dengan hal-hal atau bencana yang mengerikan.
  2. Reinforcement, yakni orang belajar memperlihatkan perilaku tertentu sebab perilaku tersebut disertai dengan sesuatu yang mengasyikkan dan bisa memuaskan keperluan (atau mereka belajar menghindari perilaku yang disertai akibat-akibat yang tidak menyenangkan). Misalnya seorang mahasiswa yang belajar guna tidak membangkang profesor pengajarnya di kelas sebab ketika urusan tersebut dilaksanakan sang profesor tidak jarang kali mengerutkan dahi, marah dan membentaknya kembali.
  3. Imitasi ialah proses dimana orang mempelajari sikap dan perilaku sosial dengan meniru sikap dan perilaku yang menjadi model.


Misalnya anak-anak yang menirukan hal-hal yang dilaksanakan oleh orang tuanya atau orang dewasa di sekitarnya. Cara yang urgen dalam belajar sosial ialah tingkah laku imitasi. Dollard & Miller (dalam Wibowo,1988:I.28-I.29) mengaku ada 3 (tiga) mekanisme imitasi:

a. Tingkah Laku Sama
Terjadi bila 2 (dua) atau lebih orang menyerahkan respon sebab terstimulus oleh isyarat yang sama. Misalnya sesama penumpang angkutan umum dengan jurusan yang sama, tidak kemudian perbuatan ini dirasakan sebagai tiruan.

b. Tingkah Laku Tergantung
Timbul dalam hubungan antara dua pihak dengan suasana pihak yang satu ialah lebih pandai, lebih tua atau lebih dapat dari pihak lain. Maka pihak lain bakal menyesuaikan tingkah lakunya dan bakal tergantung pada pihak kesatu. Misalnya seorang kakak yang menjemput dan membawakan tas ayahnya pada ketika sang ayah kembali kerja maka ia akan diserahkan sebatang coklat. Dia memandang deru mobil sang ayah di halaman pada senja hari ialah isyarat sang ayah datang dan seringkali akan memberinya coldat, maka ia berlari menghamhirinya. Untuk adiknya yang pada saat tersebut barn menyaksikan kejadian tersebut, gerak lari kakaknyalah yang adalahisyarat baginya sampai-sampai ia meniru (imitasi) tingkah laku kakaknya di beda kesempatan sebab dengan begitu ia bakal mendapat reward sebatang coklat dan ayahnya.

c. Tingkah Laku Salinan (Copying)
Persamaan antara tingkah laku tergantung dengan tingkah laku salinan ialah keduanya sama-sama memakai isyarat dan tingkah laku model (orang yang ditiru). Perbedaannya terletak pada andai dalam tingkah laku tergantung seseorang merespons melulu terhadap isyarat dari model, sementara dalam copying orang yang bersangkutan bakal merespons tingkah laku yang menunjukkan keserupaan dan perbedaan antara responnya dengan respons si model (orang yang ditiru). Misalnya A seringkali akan memperlambat laju mobilnya andai lampu kuning menyala. Suatu hari pada ketika lampu kuning menyala ia menyaksikan B pengendara mobil lainnya yang malah mempercepat laju kendaraannya dan ia terhindar dari lampu merah. Maka pada peluang lain, andai ada lampu kuning menyala A bakal mempercepat laju kendaraannya.

Terdapat sejumlah ciri eksklusif dalam pendekatan belajar yakni (Sears., 1985:14):
  • a. Sebab-sebab perilaku diperkirakan terletak khususnya pada empiris belajar pribadi di masa lampau. Para berpengalaman teori belajar mengaitkan diri pada empiris masa kemudian dan tidak cukup memperdulikan seluk beluk kondisi yang sedang terjadi.
  • Pendekatan belajar ingin menempatkan penyebab perilaku khususnya pada lingkungan eksternal dan tidak pada penafsiran subjektif pribadi terhadap apa yang terjadi. Pendekatan ini menekankan kejadian eksternal yang sudah diasosiasikan dengan stimulus atau reinforcement yang sudah dikaitkan dengan munculnya tanggapan atau model peran yang pernah diternui. Semua ini mempunyai sifat eksternal untuk individu. Sebagai sebab-sebab terjadinya perilaku pendekatan belajar tidak menekankan suasana subjektif contohnya persepsi terhadap kondisi dan emosi.
  • Biasanya ditunjukkan untuk menyatakan perilaku yang nyata dan bukan pada suasana subjektif atau psikologis.

5. Teori Psikoanalisa
Tokoh dan teori ini ialah Freud. Alasan teori ini digunakan untuk mendalami tingkah laku sosial ialah adanya pendapat dan Freud bahwa ada pertentangan yang fundamental antara pemuasan keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan individual dengan kesiapan masyarakat dalam mengisi semua keperluan tersebut. Berdasarkan keterangan dari teori ini pula perkembangan pribadi menuju kedewasaan ialah melalui serangkaian tahapan yakni tahap oral, anal, phallic dan genital. (dalam Wibowo, 1.14-1.15) Secara singkat bisa diuraikan sebagai berikut:
  • Tahap Oral: Bayi barn bermunculan s/d 1 atau 1,5 tahun. Pengalamannya melulu kenikmatan, kesakitan dan perubahan-perubahan ketegangan.
  • Tahap Anal: Berlangsung dari umur 1 atau 1,5 tahun — 4 tahun. Perkembangan ego ditandai dengan keterampilan untuk menguasai obyek, mengantisipasi hal-hal yang terjadi dengan imaginasi; sadar dan toleransi terhadap kecemasan; pertumbuhan kemampuan berkata dan berpikir; tumbuhnya keterampilan untuk menunda respons.
  • Tahap Phallic: Mulai terjadi sesudah usia 3 — 4 tahun. Perkembangan yang penting ialah meningkatnya minat pada seks (dalam family berupa perumahan oedipus, andai anak laki-laki dengan ayahnya dan anak wanita dengan ibunya; serta dalam dirinya berupa fantasi-fantasi tertentu), proses pertunibuhan super ego, serta makin tidak sedikit menggunakan mekanisme pertahanan diri. Ditandai dengan meningkatnya kemauan untuk bermasturbasi; meningkatnya kemauan untuk bersentuhan tubuh dengan anggota family yang bertentangan jenis; bertambahnya kecenderungan ekshibisionis (menunjukkan perangkat kelamin untuk orang lain).
  • TahapLaten: adalah merupakan masa konsolidasi dalam perkembangan, menyesuaikan diri dengan lingkungan di luar keluarga. Hasrat seksual untuk orang tua disublimasikan menjadi rasa memuliakan dan menghargai. Merupakan masa persiapan guna remaja (pubertas).
  • Tahap Genital: Secara psikologis ditandai dengan ciri-ciri antara beda hasrat guna mandiri, lebih menghargai aturan-aturan dari rekan sebaya, penentangan melawan orang tua, pikiran-pikiran bingung dan lain-lain.

Berdasarkan keterangan dari konsep Freud terdapat 3 (tiga) sistem yang menyusun struktur kepribadian:
  1. Id ialah cumber energi psikis, adalahsub sistem dan kepribadian. Id biasanya dilukiskan sebagai pengharapan-pengharapan yang berasal dari insting-insting psikologi yang dimiliki setiap orang semenjak lahir. Id ialah sesuatu yang tidak disadari maka seluruh ketidaksadaran berlaku untuk id contohnya amoral, tidak terpengaruh oleh waktu, membiarkan realitas, bekerja atas dasar kesenangan, tidak terikat moral, etik, dalil dan logika. Id secara tetap adalahupaya guna mendapatkan kesenangan, penghargaan dan pemuasan.Upaya ini secara pokok diwujudkan lewat libido dan agresi(dalam Gerungan, 2004). Libido mengarah pada hubungannya dengan kemauan seksual, kesenangan-kesenangan tergolong di dalamnya kehangatan, makanan dan kenyamanan (comfortable). Agresi mendorong Id ke arah kehancuran termasuk diantaranya kemauan perang, berkelahi, berkuasa dan seluruh tindakan-tindakan yang mempunyai sifat merusak. Walaupun demikian Id tetap dinyatakan sebagai kekuatan yang mendorong sepanjang kehidupan ini dan adalahsumber yang amat urgen dari daya beranggapan dan upaya bertindak. Id pada kesudahannya hams dihubungkan dengan realitas yang tidak dapat diabaikan begitu saja, oleh karena tersebut sebagai penghubung timbul sistem "ego".
  2. Ego bermanfaat untuk menghadapi realitas dan menerjemahkan guna id. Ego beroperasi menurut proses berpikir. Ego adalahsumber rasa sadar. Ia mewakili loglka dan yang dihubungkan dengan prinsip-prinsip realitas. Ego adalahsub sistem yang bermanfaat ganda yakni melayani dan sekaligus mengendalikan dua sistem lainnya (Id dan Super-Ego) dengan teknik berinteraksi dengan dunia luar atau lingkungan luar (external environment). Ego bisa mengembangkan suatu kemudahan penalaran guna menimbang dan belajar untuk menyesuaikan dan beraksi sesuai dengan lingkungannya. Namun pada gilirannya kondisi konflik antara Id dan Ego tidak bisa dihindarkan, dimana di satu pihak Id menuntut dipenuhinya kesukaan dengan cepat dan di pihak beda Ego berjuang menekan, menampik atau menundanya guna mencarikan masa-masa dan lokasi yang lebih cocok untuk memenuhi kesukaan tersebut. Agar Ego dapat menanggulangi konflik dengan Id maka is tidak sedikit mendapat pertolongan dari Super-Ego.
  3. Super-Ego: ialah sistem moral dan jati diri atau kekuatan moral dari personalitas. Sistem ini mengandung norma-norma budaya, nilai-nilai sosial dan tata teknik yang telah diserap ke dalam jiwa. Super ego berprinsip menggali kesempurnaan. Ia ialah sumber norma yang memungkinkan Ego menyimpulkan apakah sesuatu benar atau salah. Teori psikoanalisa pun memperkenalkan konsep ketidaksadaran sebagai unsur kepribadian, dimana terletak keinginan-keinginan, impuls-impuls dan konflik-konflik yang dapat memiliki pengaruh langsung terhadap tingkah laku. Pada dasarnya tingkah laku individu diprovokasi atau dimotivasi oleh determinan kesadaran maupun ketidaksadaran (Dayakisni, 2006:19). Contoh dalam proses-proses ketidaksadaran misal-nya tingkah laku agresi di anggap sebagai sebuah manifestasi pembawa-an semenjak lahir, yakni yang dinamakan sebagai insting mati dalam ketidak-sadaran.


6. Teori Peran
Pengertian Peran (Role) seringkali didefinisikan sebagai serangkaian tingkah laku atau fungsi-fungsi yang dikaitkan dengan posisi eksklusif dalam hubungan tertentu. Berdasarkan keterangan dari Bidle & Thomas (Wibowo, 1988:1.21) terdapat 4 (empat) istilah mengenai perilaku dalam kaitannya dengan peran:
a. Harapan (expectation).
b. Norma (norm).
c. Wujud Perilaku (performance).
d. Penilaian (evaluation) dan Sanksi (sanction).
Dapat diterangkan secara singkat sebagai berikut:
  1.       Harapan mengenai Peran, ialah harapan-harapan orang beda pada umumnya mengenai perilaku-perilaku yang layak yang seyogyanya diperlihatkan oleh seseorang yang memiliki peran tertentu. Contoh asa dari masyarakat umum terhadap public servant yang bersih dan bebas KKN.
  2.       Norma, adalahsalah satu format harapan. Berdasarkan keterangan dari Secord & Backman (Wibowo, 1988:L21-L22) jenis jenisharapan merupakan:


·        Harapan yang mempunyai sifat meramalkan (predicted role expectation) yakni harapan tentang sebuah perilaku yang bakal terjadi.
·        Harapan Normatif (prescribed role expectation) ialah keharusan-keharusan yang menyertai sebuah peran. Ada 2 jenis yakni kesatu asa yang terselubung (covert) ialah harapan-harapan yang terdapat tanpa mesti dibacakan misalnya dokter hams menyembuhkan pasiennya. Kedua yakni harapan tersingkap (overt) ialah harapan- asa yang dibacakan (role demand). Misalnya orang tua yang meminta supaya anaknya rajin belajar dan bertanggung jawab atas tugas-tugasnya.

  1.       Wujud Perilaku dalam Peran Peran diwujudkan dalam perilaku nyata, bukan sebatas harapan. Misalnya peran ayah ialah mendisiplinkan anaknya, maka terdapat ayah yang memakai hukuman-hukuman jasmani sedangkan ayah lainnya melulu memberi nasehat raja. Kapan peran butuh ditunjukkan/ menjadi penting? Perwujudan peran dapat bermacam-macam. Misalnya pendapat Sarbin (dalam Wibowo, 1988:1.23) dimana perwujudan peran terdiri dan tingkatan intensitas dan yang terendah hingga yang tertinggi. Contoh seorang pemain musik di kafe yang menjadi tugasnya masing-masing malam maka sebab terlalu biasa ia dapat bermusik sambil membual dengan temannya. Sementara terdapat seorang pianis yang hams melangsungkan konser tunggalnya maka ia bakal mempersiapkan din dan performanya dengan sarat konsentrasi. Goffman (dalam Wibowo, 1988:1.23) meninjau dan sudut lain yakni dari permukaan (front), yakni untuk mengindikasikan perilaku-perilaku tertentu yang diekspresikan secara khusus supaya orang memahami secara jelas peran si pelaku. Contoh seorang profesor bakal memajang rak sarat buku-buku ilmiah di ruang tamu, sampai-sampai tamunya bakal mendapat kesan mengenai apa dan bagaimana peran profesor tersebut. Inilah yang dimaksud dengan "front". Namun ada pun hal yang digemari profesor contohnya tetapi tidak diperlihatkan yaitu kegemarannya menyimak komik dimana komik-komik itu disimpannya dengan apik di kamar pribadinya.
  2.       Penilaian dan Sanksi. Berdasarkan keterangan dari Biddle & Thomas (dalam Wibowo, 1988:1.24) evaluasi peran ialah pemberian kesan positif atau negatif yang didasarkan pada asa masyarakat terhadap peran dimaksud. Sanksi ialah usaha orang untuk menjaga suatu nilai positif atau supaya perwujudan peran diolah sedemikian rupa sampai-sampai yang awalnya dinilai negatif menjadi positif. Berdasarkan keterangan dari Merton & Kitt (dalam Wibowo, 1988:1.25) masing-masing orang memerlukan kumpulan rujukan (reference group) tertentu yang memiliki fungsi, kesatu faedah normatif, dimana kumpulan mendesakkan sebuah standar tertentu untuk perilaku dan kepercayaan atau keyakinan anggotanya. Terlepas benar atau salahnya standar itu, kumpulan mempunyai lumayan kekuatan atas pribadi sehingga pribadi mau tidak mau mengekor standar tersebut. Misalnya aturan-aturan yang diciptakan orang tua hams dibuntuti anaknya sebab anak ialah anggota keluarga. Jika norma ini diserap (diinternalisasikan) maka terbentuklah nilai dalam diri pribadi itu yang selanjutnya menjadi pedoman untuk tingkah laku dan kepercayaannya. Kedua ialah fungsi komparatif /perbandingan dimana kelompok melulu dijadikan perangkat pembanding untuk individu untuk memahami apakah perilaku atau kepercayaannya telah benar atau masih salah. Perbandingan ini dapat dilakukan dengan melibatkan diri atu tidak terhadap kumpulan tersebut. Kelompok melulu dijadikan perangkat untuk destinasi informatif saja.



Post a Comment

0 Comments